Menguak Mitos “Ngga Perlu IPK Tinggi”

Saya tertarik untuk menulis mengenai topik ini setelah membaca tulisan dari rekan Muhammad Sahputra mengenai  Ijasah VS Tidak Punya Ijasah. Topik tersebut membawa saya untuk mengingat kembali ke masa SMA, pada saat ingin memutuskan akan melanjutkan pendidikan apa dan kemana?

Saat itu ada beberapa opsi yang saya pertimbangkan, antara lain:

  • kuliah pada urusan IT dalam rangka melanjutkan hobi saya akan dunia IT,
  • menekuni IT tanpa melalui kuliah (sekolah keterampilan, kursus atau ambil sertifikasi IT),
  • kuliah pada jurusan akuntansi dengan pertimbangan prospek dan kebutuhan akuntan pada setiap perusahaan sehingga dianggap ini adalah “jurusan yang mudah cari kerja”,
  • kuliah jurusan pada manajemen walaupun sama sekali saat itu tidak terbayang akan belajar apa dijurusan tersebut, dan terakhir
  • kuliah jurusan hukum.

Ya. Menempuh perkuliahan dan mengambil jurusan hukum saat itu adalah opsi terakhir yang bahkan tidak pernah saya pertimbangkan sebelumnya. Maklum saja, tidak ada seorang pun dari keluarga besar saya yang berprofesi sebagai konsultan hukum sehingga tidak ada sosok yang bisa saya lihat untuk dijadikan tolok ukur. Pada akhirnya saya memang menempuh perkuliahan pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia tetapi sampai dengan paling tidak dua semester terakhir, saya hampir tidak punya arah dan tujuan yang jelas terkait dengan profesi yang akan saya ambil setelah lulus.

Pada masa perkuliahan, banyak sekali rumor dan mitos yang saya dengar dari rekan seangkatan atau dari para senior mengenai apa yang harus dilakukan pada saat perkuliahan dan profesi apa nanti yang harus diambil serta bagaimana jalur karir dari masing-masing profesi tersebut. Kesemuanya semakin membuat saya bingung. Saya juga tidak tertarik untuk berkonsultasi dengan dosen ataupun senior yang telah berprofesi menjadi konsultan hukum.

Hanyalah Mitos Belaka

Yang paling sering saya dengar adalah mitos bahwa IPK tinggi itu tidak penting, lebih penting adalah membangun jaringan dengan teman seangkatan dan senior. Mari kita bedah mitos tersebut dari pengalaman saya yang telah kurang lebih 12 tahun menjadi konsultan hukum korporasi. Jawabannya harus khas konsultan hukum yang ada kualifikasinya.

Menurut saya, adalah sebuah mitos kalau IPK tinggi itu tidak penting. IPK yang tinggi itu sangat penting! Tentunya membangun jaringan dengan teman seangkatan dan senior juga penting hanya saja menurut pengalaman pribadi saya, bobot IPK tinggi lebih besar. Dari pengalaman dalam proses penerimaan associate di kantor selama ini, saya dan rekan-rekan di kantor selalu menggunakan IPK dan juga asal fakultas hukum sebagai saringan pertama. Kalau IPK tinggi tapi bukan dari fakultas hukum ternama, tidak lolos. Sebaliknya juga, sekalipun dari fakultas hukum ternama tetapi IPK rendah, ya tidak lolos juga. Saya mencari yang IPK-nya tinggi dan juga berasal dari fakultas hukum ternama.

Apakah kedua parameter di atas menjadi jaminan mutu kalau associate yang diterima akan berkualitas? Tidak juga! Namun, kedua parameter tersebut adalah filter paling mudah dan efisien untuk mempercepat seleksi aplikasi pelamar kerja yang jumlahnya sangat banyak. Coba bayangkan jika anda adalah pelamar kerja yang menurut penilaian anda sendiri anda itu hebat, negosiator ulung, kreatif dan juga solutif, bagaimana cara anda merefleksikan kesemua sifat itu dalam sebuah CV dan anda yakin kalau calon pemberi kerja akan memahami kelebihan anda itu? Bandingkan jika seandainya anda memiliki IPK tinggi dari universitas ternama. Dengan sangat mudah anda bisa mencatumkan IPK dan nama universitas anda dalam CV dan biarkan lah calon pemberi kerja berasumsi bahwa anda adalah calon pekerja yang memiliki kepandaian di atas rata-rata.

Dengan IPK anda tinggi dan berasal dari universitas ternama paling tidak sudah ada nilai tambah bagi diri anda untuk memperbesar memperoleh pekerjaan yang diinginkan. Dalam proses penerimaan calon associate di kantor saya, biasanya setelah ada beberapa calon yang tersaring dengan parameter IPK dan asal universitas, saya akan tanya ke associate yang ada di kantor apakah kenal dengan si calon pelajar atau tidak? Di sini lah saya melihat manfaat dari parameter selanjutnya yaitu keharusan membangun jaringan dengan teman seangkatan atau dengan senior.

Pengalaman saya mungkin bisa menjadi contoh nyata dari uraian di atas. Saya yang sampai dua semester terakhir kuliah saja masih bingung mau ngapain, Alhamdulillah mendapatkan kemudahan dalam mencari kerja dan melanjutkan karir menjadi konsultan hukum korporasi. Faktor utama kemudahan tersebut berasal dari IPK saya yang termasuk tinggi sehingga pada saat itu saya bisa mengikuti kompetisi Mahasiswa Berprestasi FHUI. Lolos kompetisi dan menjadi Mahasiswa Berprestasi FHUI memberikan saya peluang yang besar untuk dapat bekerja di salah satu kantor hukum terbaik di Indonesia. Dari sana lah karir saya dibangun. Saya merasa beruntung tidak termakan mitos “IPK tinggi ngga penting” yang selalu saya dengar waktu kuliah.

Jadi Harus Bagaimana?

Buat siapapun, khususnya teman-teman mahasiswa yang baru masuk kuliah atau mau mulai serius menentukan karir, ada beberapa hal yang bisa saya sampaikan.

  • Tetap berusaha untuk masuk universitas yang terbaik, mengambil jurusan yang benar-benar diminati dan juga lihat prospek jurusan itu kedepannya seperti apa. Belajar yang baik supaya IPK tinggi.
  • Aktif berorganisasi itu merupakan nilai tambah, tapi jangan sampai gara-gara aktif berorganisasi malah nilai jadi acak-acakan terus jadwal kelulusan jadi terganggu. Bikin rencana hidup yang baik. Misalnya: harus lulus dalam berapa tahun, harus magang ditahun keberapa, mengambil mata kuliah apa saja, punya keterampilan apa saja dan lainnya.
  • Kalau sudah di universitas bagus, IPK juga di atas 3.0/4, tinggal cari pengalaman kerja saja. Tidak usah langsung maunya kerja di tempat yang terkait dengan jurusan. Magang di mana saja menurut saya baik. Paling penting dapat feel bekerja seperti apa. Jadi nanti pada saatnya kerja pada profesi yang memang diinginkan tidak terlalu kaget. Sikap dan etos kerja banyak terbentuk dari pengalaman bekerja. Tahu bagaimana menerima tanggung jawab, memiliki insting yang baik dalam penyelesaian masalah dan paham konsekuensi dari apa yang dilakukan merupakan nilai positif yang bisa dibawa pada pekerjaan selanjutnya.
  • Kalau tidak berkesempatan untuk magang? Sebaiknya banyak mengikuti kursus keterampilan atau keahlian yang bisa mendukung kemampuan bekerja. Misalnya mau jadi konsultan hukum tapi ngga bisa magang, ini bisa ikutan kursus legal drafting, komputer, bahasa. Rajin datang ke seminar dan aktif dalam seminar bisa jadi nilai plus.

Kalau sudah masuk jurusan dan universitas ternama, IPK bagus, punya pengalaman magang, soft skill dan interpersonal skill juga bagus. Alhamdulillah. Kalau sudah seperti itu, tinggal aspek penting lainnya yang harus dipenuhi, yaitu minta restu orang tua untuk dapat kerjaan yang terbaik. Saya percaya, restu dari orang tua itu 80% dari kesuksesan!

Demikian lah tulisan saya yang berbau motivasi. Semoga ada yang bisa bermanfaat buat siapapun yang membutuhkan. Jarang saya menulis seperti ini karena pada dasarnya saya paling tidak suka membaca atau mengikuti hal-hal yang berbau “motivasi” atau menghadiri acara yang ada “motivator”-nya.

Wassalam.